Kamis, 27 Januari 2011

Musik Punk dulu, Kini dan Nanti


Mendengar kata Punk, pikiran bisa mengembara ke mana-mana. Punk sebagai aliran musik dengan ketukan cepat sebagai hasil gebukan snare drum yang rapat, serta distorsi menggila.


Kendati demikian, ada satu ciri yang tak mungkin bisa dilepaskan. Ketika nama Punk disebutkan, pikiran pasti tertuju pada rambut Mohawk ala suku Indian, dan detail fashion yang menyertai. Atau, potongan ala feathercut dengan warna-warna terang, sepatu boots, rantai, dan spike (gelang atau aksesori berjeruji), patches (tambalan), jaket kulit, celana jeans ketat dengan warna luntur, serta mengenakan baju lusuh.


Mulanya, Punk tumbuh subur pada pertengahan dekade 1970-an di Inggris, akibat ketidakpuasan kelas pekerja terhadap sistem negara yang membelenggu. Sistem kerajaan yang dianut membuat jurang hierarki yang besar antar masing-masing kelas. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana, namun terkadang kasar, beat yang cepat dan menghentak. Situasi ekonomi dan politik membuat kaum Punk menjadi pemendam jiwa pemberontak (rebellious thinkers).


Nama grup band Sex Pistols kemudian tak bisa dilepaskan dari sejarah pertumbuhan ideologi Punk. Pada 1977, mereka merilis single "God Save The Queen", yang isinya menggegerkan kerajaan dan mayoritas masyarakat masa itu. Simak saja lirik dari single tersebut yang awalnya berjudul "No Future" ini, God save the queen, She ain`t no human being And there`s no future In England`s dreaming.


Gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja ini dengan segera merambah Amerika yang mengalami masalah ekonomi dan keuangan karena kemerosotan moral para tokoh politik. Punk hadir sebagai bentuk solidaritas dan komunitas yang concern pada persoalan-persoalan sosial.


Punk juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan keyakinan “we can do it ourselves.” Inilah yang menjadi selogan idealisme Punk, sebuah budaya kemandirian, tidak ‘bergantung’ kepada orang lain.


Lantas seperti apa peran generasi muda Indonesia menyikapi persoalan ini? Termasuk aliran-aliran musik modern dari barat? Bukankah kita juga punya musik lokal (tradisional) sendiri?


Di zaman yang syarat dengan kemajuan teknologi seperti sekarang ini, yang harus kita kedepankan adalah kecermatan. Perkembangan media dan perusahaan komersial dapat saja membentuk sebuah citra yang semu, jauh dari substansi tetapi komersil.


Dalam “Philosophy of Punk”, Craig O’Hara (1999) menyebut tiga definisi Punk. Pertama, Punk sebagai trend remaja dalam fashion dan musik. Kedua, sebagai Sang Pemula yang punya keberanian memberontak, memperjuangkan kebebasan dan melakukan perubahan. Terakhir, sebagai bentuk perlawanan yang “hebat” karena menciptakan musik, gaya hidup, komunitas, dan kebudayaan sendiri.


Definisi pertama adalah definisi yang paling umum digambarkan oleh media. Tapi justru yang paling tidak akurat karena cuma menggambarkan kesannya saja. Inilah yang harus dicermati oleh kaum muda untuk tidak terjebak dalam trend dan menjadikan Punk sebagai fashion dalam musik, padahal dibalik itu Punk punya idealisme ‘do it yourself’.


Dan dari musik Punk generasi muda bisa banyak belajar melalui pesan moralnya. Yaitu sebuah budaya kemandirian. Banyak ahli berpendapat bahwa kemandirian sebuah bangsa, baik itu kemandirian ekonomi, harus dimulai dari rakyatnya sendiri. Inilah pesan moral dari musik Punk bagi generasi muda Indonesia. Apakah generasi muda Indonesia sudah cermat dan melakukan budaya kemandirian itu dalam sendi-sendi kehidupannya, ataukah generasi muda Indonesia sudah terjebak dalam konstruksi media yang mencitrakan Punk sebagai trend fashion yang miskin pesan moral? Semoga tidak!

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger